MASIH
ADA BARA DI DADA MEREKA
(Menguak
Rahasia Pasca Gempa di Sekolah Satap Gunung Sari,Lombok Barat)
Oleh:
Indah Aryati
Suatu
siang yang terik, matahari memancar indah beriring mega-mega putih berarak di langit biru. Seakan enggan menatap
kedukaan menyelimuti batin-batin anak-anak bangsa serta para pendidiknya.
Mereka telah kehilangan tempat terpenting sebagai sarana terselenggaranya pendidikan.
Inilah yang terjadi di Sekolah Satap Gunung Sari, Lombok Barat. Gedung Sekolah
itu telah rubuh, tinggal puing-puing berserakan.
Beberapa laki-laki sedang membersihkan sisa-sisa reruntuhan bangunan. Sementara anak-anak sekolah yang sedang
berduka karena terdampak gempa, terlihat masih menyimpan bara semangat di
dadanya. Satu hal yang membuatku merasa
lega menyaksikan masih ada nyala api di
balik reruntuhan ini.
Ya memanglah tidak terlalu berlebihan bila saya menyebut masih ada magma di balik gurun. Magma yang akan menjadi secercah harapan bagi saya dan teman-teman Guru Mitra yang mendapat tugas untuk membantu mereka. Kedatangan kami disambut hangat anak-anak. Dijabat erat oleh para guru dengan mata berkaca-kaca. Sebenarnya sama dengan mataku yang mulai terasa hangat menahan lelehan air. Seperti saudara lama tak bertemu kami pun langsung terlibat dalam obrolan panjang. Tentang dampak bencana sampai kegiatan pembelajaran seadanya. Semua demi mencerdaskan mereka, anak-anak polos tak berdosa.
Ada
dua tenda berukuran sedang didirikan di halaman sekolah. Tenda warna biru penuh
debu. Jelas kurang layak sebagai tempat belajar. Mereka duduk lesehan di atas
plastik kumal saling berdesakan. Memang tenda kecil ini sebenarnya tidak bisa
menampung puluhan anak. Mereka mulai nampak kepanasan di dalam tenda. Seorang
guru sedang mengajarkan menyanyi lagu anak-anak. Lagu ‘Jari Jempol diakhhiri dengan teriakan anak sambil berlari keluar tenda. Dia menyalamiku, Siswa
kelas 2 Sekolah Dasar itu bernama Dewi. “Mengapa kamu keluar?” tanyaku padanya.
Dewi menjawab sambil mengelap keringat di keningnya. “Panas.. Bu guru…” Jawaban
yang membuatku menyesali diriku sendiri, mengapa harus bertanya.
Kuelus kepalanya untuk membuatnya
tenang. “Bu guru mengajar di sini terus saja, jangan pergi lagi.” Tatapan
polosnya membuatku trenyuh tak mampu menjawab meski sepatah kata.
Tenda
kedua berwarna kuning, ukurannya lebih besar dan tampak lebih kokoh dari yang
berwarna biru. Ternyata dalam tenda itu ada dua kelas sedang belajar. Kelas 4
menghadap ke Utara dan kelas 5 menghadap ke Selatan. Tidak ada skat atau
pembatas sebagai pemisah. Saat guru kelas 5 menjelaskan, siswa kelas 4 leluasa
menoleh ke belakang bahkan ada yang membawa kursinya ikut pelajaran kelas
sebelahnya. Kuhela nafas berat melihat pemandangan di depan mataku. Bagaimana
mungkin harus kusampaikan berbagai teori pembelajaran abad 21, sedangkan
keadaan senyatanya justru menguras rasa keprihatinan mendalam. Mereka masih
mempunyai semangat belajar seperti ini saja, rasanya sudah bersyukur pada Allah
Yang Maha Murah. Saat ini hal terpenting adalah membuat mereka tetap
bersemangat, tidak patah kemauan menyesali
keadaan. Kusingkirkan jauh-jauh dahulu
rentetan tugas dari Kemendikbud untuk pendampingan penulisan RPP berbasis pendidikan abad 21. Biarlah kami mengalir
seirama dengan alam yang sedang berduka.
Kantor guru menempati sisa bangunan yang masih bisa dipakai. Ruangan sempit ini telah menjadi saksi bisu pertemuan kami Guru Mitra satu dan Guru Mitra dua di Sekolah Satap Gunung Sari. Cerita mengalir dari Ibu Widuri tentang betapa berat perjuangan guru-guru untuk memulihkan mental dan kepercayaan diri anak didiknya. Traumatik terhadap bencana yang baru saja dialaminya membuat mereka dihantui rasa ketakutan. Apalagi masih ada gempa susulan. “Suatu ketika kami sedang belajar di tenda, tiba-tiba ada suara benda jatuh agak keras, kontan anak-anak berlarian keluar sambil menangis. Mereka mengira ada gempa”, papar Ibu Widuri. Berbagai peristiwa terjadi tanah ini. Dialah Ahmad seorang siswa kelas 5 telah kehilangan ayah ibunya. Berat terasa menjadi sebatang kara dalam usia kanak-kanak. Ibu Widuri meneruskan ceritanya “Ketika datang bencana saat itu, 29 Juli 2018, saja selesai makan sahur. Tiba-tiba bumi bergoncang hebat, rumah-rumah hancur rata dengan tanah, jalanan terbelah. Dalam sekejap segalanya menjadi gelap. Semua orang panik berlarian ke segala arah untuk menyelamatkan anak-anaknya. Tak terkecuali Ahmad, pelajar Sekolah Dasar itu pun sudah terpisah dari orang tuanya. Akhirnya dia mengikuti arah orang-orang yang lari ke atas bukit. Dia berlari dan terus mendaki. Dengan tujuan menyelamatkan diri jika terjadi tsunami.” Ahmad adalah satu diantara ratusan anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Betapa dahsyat pukulan kehidupan yang harus ditanggungnya. Cerita yang menguras air mata. Ya Allah tabahkanlah mereka.
Bocah-bocah
tulus itu mencium tanganku ketika sempat kuberikan beberapa buku dan alat tulis
yang sebenarnya tidak seberapa harganya. Pemikiran ini pun muncul seketika saat
saya dan teman-teman menyaksikan
langsung bagaimana mereka belajar. Sebagian uang saku kami sisihkan untuk
membelikan alat tulis seadanya. Hal terpenting adalah kita bisa berbuat sesuatu
untuk mereka. Membuat mereka bahagia sekejap saja. Ini kurasakan sebagai
anugerah terindah dalam perjalanan tugasku. Ada terbersit di hati betapa
bahagianya jika mampu membuat mereka
tertawa di sela-sela kedukaan mendalam. Sungguh hal yang menyisakan keharuan
tiada terkira.

Sepanjang
jalan menuju Sekolah Satap Gunung Sari kulihat puing-puing bangunan yang rubuh.
Bahkan ada yang rata dengan tanah. Sampai pada suatu tempat agak lapang, saya
dan teman-teman menghentikan langkah. Saatnya sholat Jumat. Sambil menunggu
teman-teman saya berkesempatan mengambil gambar keadaan sekitar masjid. Jamaah
Sholat Jumat tersebar di sepanjang jalan. Ada yang sholat di tepi jalan, di
teras rumah bahkan di atas kendaraan yang diparkir di tepi jalan. Pemandangan yang
begitu memukau. Ternyata kekhusukan mereka beribadah menjadi sisi religi di
balik reruntuhan gempa yang menggemparkan dunia. Masyaallah, betapa
bersyukurnya saya mendapat kesempatan berada di tengah-tengah mereka saat ini.

Kami
tak berdaya untuk menolak undangan makan siang dari Kepala sekolah Satap Gunung
Sari. Ternyata guru-guru telah menyiapkan jamuan istimewa bagi kami. Sambil
duduk lesehan di teras rumah Kepala Sekolah kami nikmati sajian khas Lombok,
ayam taliwang, pelecing kangkung dan sambal bebeduk. Kenikmatan yang berkesan
sampai kapanpun. Keakraban terjalin begitu kuatnya meski kami baru sekali
berkunjung. Rasa persaudaraan yang terjalin begitu indah. Alhamdulillah.
Tak henti-hentinya kusebut keagungan Allah, atas karuniaNya dalam suasana kegelapan masih ada bara api yang tersimpan di dada mereka. Semoga bisa menyala kembali seperti lilin penerang dalam gulita. Menyala semangat hidupnya, menyala semangat belajarnya dan menyala rasa syukur pada Sang Pencita meski hidup berada di titik nadir . Sebuah pelajaran sangat berharga bagi kita.
Yogyakarta, 25 Oktober 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar